Senin, 25 Desember 2017

KONSEP INZAL DAN TANZIL DALAM PEWAHYUAN MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR





Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam mempunyai daya tarik yang kuat. Bahkan daya tariknya tidak pernah habis. Al Qur’an selalu menarik untuk terus dikaji, segala yang ada dan berkaitan dengannya selalu menarik para ulama maupun sarjana-sarjana baik Muslim maupun non Muslim mencoba menguak satu persatu rahasia yang ada didalamnya. Dan salah satu kajian al Qur’an adalah terkait tentang pewahyuan. Pewahyuan al Qur’an menjadi perbincangan yang terus dikaji dalam kajian ulumul qur’an dan tafsir baik oleh para ulama klasik, kontemporer bahkan oleh kaum-kaum orientalis.
Muhammad Syahrur yang merupakan seorang tokoh kontemporer sekaligus tokoh yang akan penulis kaji dalam pembahasan ini. Sebagaimana Syahrur dengan latar belakang intelektualnya yang bisa dikatakan berbeda, mampu berkontribusi dalam perkembangan kajian al Qur’an kontemporer. Hal ini dapat penulis ketahui dengan karya besarnya dalam kajian al Qur’an bernama al Kitab wa al Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938[1]. Ayahnya bernama Deyb Ibnu Deyb Syahrur dan Ibunya adalah Shiddiqah binti Salih Filyun. Perjalanan intelektual beliau dimulai dari pendidikan dasar dan menengah yang beliau tempuh di tempat kelahirannya yang beliau selesaikan pada tahun 1957 pada umur sembilan belas di lembaga pendidikan ‘Abd al Rahman al Kawakibi, Damaskus. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Moskow untuk mempelajari teknik sipil. Perjalanan akademik beliau yang berlatar belakang teknik beliau lanjutkan hingga meraih gelar Magister dan Doktoral di Universitas Irlandia[2].
Walaupun dengan latar belakang yang berbeda sepanjang perjalanan intelektual beliau, hal yang menarik dari Syahrur adalah ketertarikan dan perhatian beliau yang serius pada kajian-kajian keIslaman. Menurutnya, umat Islam tertinggal dengan kebenaran-kebenaran yang diterima begitu saja yang seharusnya dikaji ulang. Meskipun banyaknya upaya yang telah dilakukan, namun menurut Syahrur upaya-upaya yang ada memerlukan kajian akidah secara filosofis, sehingga mampu mengurai dilema pemikiran Islam yang sebenarnya. Kritisan beliau terhadap kajian keIslaman inilah yang mendorong Syahrur memunculkan karya monumentalnya bernama al Kitab wa al Qur’an: Qira’ah Mu’asiroh.

A.    Wahyu Menurut Syahrur
Kata al-wahy menurut Syahrur dalam tradisi Arab menunjukkan pada “sebuah pengetahuan yang khusus” diambil dari kataوحي  yang mengandung pengertian memberikan pengetahuan kepada seseorang secara rahasia[1]. Kata الوحي  juga dipahami sebagai “sebuah isyarat”, sehingga segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain dengan cara apapun serta bisa dipahami termasuk kedalam kategori al wahy. Dengan demikian, al wahy berarti penyampaian segenap pengetahuan baik itu perintah atau larangan kepada orang lain yang disampaikan secara rahasia[2]. Dari sini, Syahrur membagi cara penyampaian wahyu Tuhan kepada penerimanya dengan enam cara:
1.      Wahyu disampaikan melalui program fisiologis dan program fungsionalis. Penyampaian ini dibagi lagi kedalam dua khusususan. Pertama, khusus kepada makhluk hidup, seperti wahyu Allah kepada lebah sebagaimana yang tercantum pada surat an Nahl ayat 68-69[3]. Kedua, khusus menyangkut fenomena alam seperti dalam surat al Fushilat ayat 12 dan al Zalzalah ayat 4-5[4].
2.      Wahyu yang disampaikan dalam bentuk personifikasi baik berupa suara maupun rupa. Wahyu jenis ini dialami oleh nabi-nabi sebelumnya sebagaimana terdapat dalam surat al Hud ayat 69 dan 77[5]
3.      Wahyu datang dalam bentuk getaran atau bisikan hati nurani (semacam ilham)[6].
4.      Wahyu melalui mimpi. Syahrur membedakan dua istilah yang keduanya diartikan sebagai mimpi, yaitu al hilm ( mimpi yang kacau, tidak saling berkaitan) dan al manam ( mimpi yang memperlihatkan berbagai gambaran dan peristiwa yang memiliki makna baik secara jelas maupun isyarat). Dalam al Qur’an seperti pada surat al Saffat ayat 101 dan Yusuf ayat 4
5.      Wahyu yang dikenal dengan al wahy al sauti (wahyu dalam bentuk suara), jenis wahyu ini dialami oleh Nabi Musa yang mendapatkan sepuluh wasiat dari Allah di gunung Sinai, Q.S. an Nisa ayat 164[7]
6.      Wahyu yang disampaikan secara abstrak. Menurut Syahrur wahyu seperti ini adalah wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam wujud yang asli yang tidak bisa dicerna oleh panca indra kemudian menyemapaikan wahyu tersebut kedalam hati nabi.
B.     Inzal dan Tanzil sebagai Proses Pewahyuan al Qur’an
Pembahasan tentang inzal dan tanzil Syahrur bukan merupakan kajian yang baru. Sebelumnya telah muncul beberapa ulama seperti al Raghib al Isfahani dan az Zamakhsyari yang juga melakukan hal yang sama seperti Syahrur. Dalam kitabnya Mufradat al Faz al Qur’an, Isfahani membedakan makna tanzil sebagai bentuk proses penurunan yang bertahap dan berkala, sedangkan inzal memiliki makna yang lebih umum[8]. Penggunaan kedua term inzal dan tanzil menunjukkan adanya proses penurunan al Qur’an, begitu pula dengan kata anzala-nazzala dalam surat al Qadr yang diindikasikan sebagai dasar pijakan atas argumentasi para ulama terhadap proses turunnya al Qur’an, yang mana pada penggunaan keduanya disebutkan secara bersamaan[9].
Syahrur mencoba merekonstruksi pemaknaan term inzal dan tanzil dengan menggunakan analisa strukturalisme linguistik yang beliau gunakan untuk memetakan artikulasi makna yang ada dalam kitab al Qur’an. Menurut Syahrur, sebelum proses inzal dan tanzil, terdapat realitas konkrit yang faktual, yakni prinsip-prinsip universal tentang seluruh eksistensi dan norma-norma alam yang bersifat parsial. Prinsip tersebut yang diyakini sebagai “bahan mentah” bagi ayat-ayat al Qur’an yang tersimpan dalam Kitab Maknun, Lauh Mahfudz, dan Imam Mubin secara absolut dan tidak bisa dipahami oleh manusia. Dan untuk menjadikan al Qur’an mudah dipahami oleh manusia, Allah mengubah bentuk aslinya menjadi bentuk yang manusiawi yaitu dengan menjadikannya berbahasa Arab. Perubahan dari bentuk satu ke bentuk lain dalam bahasa Arab disebut al Ja’l[10]. Sedangkan proses perubahan dari yang semula tidak mungkin ditangkap atau dipahami manusia menjadi sesuatu yang yang bisa dicerna dan masuk kesadarannya disebut inzal. Kedua proses antara inzal dan al ja’l terjadi bersamaan secara sempurna pada saat Lailatul Qadr.
Setelah mengalami proses inzal dan al ja’l maka selanjutnya adalah proses al tanzil, yaitu suatu proses pemindahan dari materi secara bertahap yang berlangsung diluar pengetahuan manusia[11]. Dalam al Qur’an proses tanzil terjadi melalui Jibril yang disampaikan kepada nabi Muhammad dan berlangsung selama rentang waktu 23 tahun. perbedaan antara inzal, al ja’l dan tanzil adalah apabila al inzal dan tanzil dalam al Qur’an berlangsung dalam satu proses sekaligus (dari keseluruhan terjadi dalam satu kesempatan) berupa transformasi bentuk menjadi bahasa Arab[12]. Sedangkan al tanzil berlangsung secara terpisah dalam rentang waktu yang panjang yang menegaskan bahwa proses pewahyuan al Qur’an kepada Muhammad terjadi secara bertahap[13]
          Berdasarkan pemaparan diatas, konsep inzal dan tanzil dalam proses pewahyuan menurut Syahrur diawali dengan proses inzal dan al ja’al yang terjadi secara sekaligus dan bersamaan. kemudian proses tanzil al Qur’an terjadi secara bertahap dengan rentang waktu yang panjang. Memang tidak banyak perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan ulama-ulama terdahulu. Namun, rumusan yang dihasilkan oleh Syahrur dinilai berbeda berdasarkan perbedaan faktor situasi dan kondisi yang mereka alami serta metode yang digunakan Syahrur dalam menganalisis kedua term tersebut. 
 


[1] Syamsul Wathani, Skripsi: Rekontruksi Makna Inzal dan Tanzil Dalam Pewahyuan al Qur’an, hlm. 120
[2] Ibid, hlm. 121
                [3] (68) Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
(69)Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. Microsoft Word Translation
[4] (12) Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.
(4) Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,(5) Karena Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.
[5] (69) Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (77) Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan Dia berkata: "Ini adalah hari yang Amat sulit".
 [6] Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm 75
[7] Ibid, hlm. 76-77
[8] Al Isfahani, Mufaradat li Al Fadh al Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, tt), hlm. 509-510
[9] Syamsul Wathani, Skripsi: Rekontruksi Makna Inzal dan Tanzil Dalam Pewahyuan al Qur’an, hlm. 110
[10] Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 86
[11] Ibid. Hlm. 88
[12] Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2015), hlm. 200-201
[13] Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 89
 



[1] Muhammad Syahrur, al Kitab wa al Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, (Damaskus: Al Ahali, 1990), hlm. 823
[2] Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 44