Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam mempunyai daya tarik yang
kuat. Bahkan daya tariknya tidak pernah habis. Al Qur’an selalu menarik untuk
terus dikaji, segala yang ada dan berkaitan dengannya selalu menarik para ulama
maupun sarjana-sarjana baik Muslim maupun non Muslim mencoba menguak satu
persatu rahasia yang ada didalamnya. Dan salah satu kajian al Qur’an adalah
terkait tentang pewahyuan. Pewahyuan al Qur’an menjadi perbincangan yang terus
dikaji dalam kajian ulumul qur’an dan tafsir baik oleh para ulama klasik,
kontemporer bahkan oleh kaum-kaum orientalis.
Muhammad Syahrur yang merupakan seorang tokoh kontemporer sekaligus
tokoh yang akan penulis kaji dalam pembahasan ini. Sebagaimana Syahrur dengan
latar belakang intelektualnya yang bisa dikatakan berbeda, mampu berkontribusi
dalam perkembangan kajian al Qur’an kontemporer. Hal ini dapat penulis
ketahui dengan karya besarnya dalam kajian al Qur’an bernama al Kitab wa al
Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria, pada
11 April 1938[1].
Ayahnya bernama Deyb Ibnu Deyb Syahrur dan Ibunya adalah Shiddiqah binti Salih
Filyun. Perjalanan intelektual beliau dimulai dari pendidikan dasar dan
menengah yang beliau tempuh di tempat kelahirannya yang beliau selesaikan pada
tahun 1957 pada umur sembilan belas di lembaga pendidikan ‘Abd al Rahman al
Kawakibi, Damaskus. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Moskow untuk
mempelajari teknik sipil. Perjalanan akademik beliau yang berlatar belakang
teknik beliau lanjutkan hingga meraih gelar Magister dan Doktoral di
Universitas Irlandia[2].
Walaupun dengan latar belakang yang berbeda sepanjang perjalanan
intelektual beliau, hal yang menarik dari Syahrur adalah ketertarikan dan
perhatian beliau yang serius pada kajian-kajian keIslaman. Menurutnya, umat
Islam tertinggal dengan kebenaran-kebenaran yang diterima begitu saja yang
seharusnya dikaji ulang. Meskipun banyaknya upaya yang telah dilakukan, namun
menurut Syahrur upaya-upaya yang ada memerlukan kajian akidah secara filosofis,
sehingga mampu mengurai dilema pemikiran Islam yang sebenarnya. Kritisan beliau
terhadap kajian keIslaman inilah yang mendorong Syahrur memunculkan karya
monumentalnya bernama al Kitab wa al Qur’an: Qira’ah Mu’asiroh.
A.
Wahyu Menurut Syahrur
Kata al-wahy menurut Syahrur dalam tradisi Arab menunjukkan
pada “sebuah pengetahuan yang khusus” diambil dari kataÙˆØÙŠ yang mengandung
pengertian memberikan pengetahuan kepada seseorang secara rahasia[1].
Kata الوØÙŠ
juga dipahami sebagai “sebuah isyarat”, sehingga segala sesuatu yang
disampaikan kepada orang lain dengan cara apapun serta bisa dipahami termasuk
kedalam kategori al wahy. Dengan demikian, al wahy berarti
penyampaian segenap pengetahuan baik itu perintah atau larangan kepada orang
lain yang disampaikan secara rahasia[2].
Dari sini, Syahrur membagi cara penyampaian wahyu Tuhan kepada penerimanya
dengan enam cara:
1.
Wahyu
disampaikan melalui program fisiologis dan program fungsionalis. Penyampaian
ini dibagi lagi kedalam dua khusususan. Pertama, khusus kepada makhluk
hidup, seperti wahyu Allah kepada lebah sebagaimana yang tercantum pada surat an
Nahl ayat 68-69[3].
Kedua, khusus menyangkut fenomena alam seperti dalam surat al
Fushilat ayat 12 dan al Zalzalah ayat 4-5[4].
2.
Wahyu
yang disampaikan dalam bentuk personifikasi baik berupa suara maupun rupa.
Wahyu jenis ini dialami oleh nabi-nabi sebelumnya sebagaimana terdapat dalam
surat al Hud ayat 69 dan 77[5]
3.
Wahyu
datang dalam bentuk getaran atau bisikan hati nurani (semacam ilham)[6].
4.
Wahyu
melalui mimpi. Syahrur membedakan dua istilah yang keduanya diartikan sebagai
mimpi, yaitu al hilm ( mimpi yang kacau, tidak saling berkaitan) dan al
manam ( mimpi yang memperlihatkan berbagai gambaran dan peristiwa yang
memiliki makna baik secara jelas maupun isyarat). Dalam al Qur’an seperti pada
surat al Saffat ayat 101 dan Yusuf ayat 4
5.
Wahyu
yang dikenal dengan al wahy al sauti (wahyu dalam bentuk suara), jenis
wahyu ini dialami oleh Nabi Musa yang mendapatkan sepuluh wasiat dari Allah di
gunung Sinai, Q.S. an Nisa ayat 164[7]
6.
Wahyu
yang disampaikan secara abstrak. Menurut Syahrur wahyu seperti ini adalah wahyu
yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam wujud yang asli yang tidak bisa
dicerna oleh panca indra kemudian menyemapaikan wahyu tersebut kedalam hati
nabi.
B.
Inzal dan Tanzil sebagai
Proses Pewahyuan al Qur’an
Pembahasan tentang inzal dan tanzil Syahrur bukan merupakan
kajian yang baru. Sebelumnya telah muncul beberapa ulama seperti al Raghib al
Isfahani dan az Zamakhsyari yang juga melakukan hal yang sama seperti Syahrur.
Dalam kitabnya Mufradat al Faz al Qur’an, Isfahani membedakan makna tanzil
sebagai bentuk proses penurunan yang bertahap dan berkala, sedangkan inzal
memiliki makna yang lebih umum[8].
Penggunaan kedua term inzal dan tanzil menunjukkan adanya proses
penurunan al Qur’an, begitu pula dengan kata anzala-nazzala dalam surat
al Qadr yang diindikasikan sebagai dasar pijakan atas argumentasi para ulama
terhadap proses turunnya al Qur’an, yang mana pada penggunaan keduanya
disebutkan secara bersamaan[9].
Syahrur mencoba merekonstruksi pemaknaan term inzal dan tanzil
dengan menggunakan analisa strukturalisme linguistik yang beliau gunakan
untuk memetakan artikulasi makna yang ada dalam kitab al Qur’an. Menurut
Syahrur, sebelum proses inzal dan tanzil, terdapat realitas
konkrit yang faktual, yakni prinsip-prinsip universal tentang seluruh
eksistensi dan norma-norma alam yang bersifat parsial. Prinsip tersebut yang
diyakini sebagai “bahan mentah” bagi ayat-ayat al Qur’an yang tersimpan dalam Kitab
Maknun, Lauh Mahfudz, dan Imam Mubin secara absolut dan tidak bisa dipahami
oleh manusia. Dan untuk menjadikan al Qur’an mudah dipahami oleh manusia, Allah
mengubah bentuk aslinya menjadi bentuk yang manusiawi yaitu dengan
menjadikannya berbahasa Arab. Perubahan dari bentuk satu ke bentuk lain dalam
bahasa Arab disebut al Ja’l[10].
Sedangkan proses perubahan dari yang semula tidak mungkin ditangkap atau
dipahami manusia menjadi sesuatu yang yang bisa dicerna dan masuk kesadarannya
disebut inzal. Kedua proses antara inzal dan al ja’l terjadi
bersamaan secara sempurna pada saat Lailatul Qadr.
Setelah mengalami proses inzal dan al ja’l maka
selanjutnya adalah proses al tanzil, yaitu suatu proses pemindahan dari
materi secara bertahap yang berlangsung diluar pengetahuan manusia[11].
Dalam al Qur’an proses tanzil terjadi melalui Jibril yang disampaikan kepada
nabi Muhammad dan berlangsung selama rentang waktu 23 tahun. perbedaan antara inzal,
al ja’l dan tanzil adalah apabila al inzal dan tanzil dalam
al Qur’an berlangsung dalam satu proses sekaligus (dari keseluruhan terjadi
dalam satu kesempatan) berupa transformasi bentuk menjadi bahasa Arab[12].
Sedangkan al tanzil berlangsung secara terpisah dalam rentang waktu yang
panjang yang menegaskan bahwa proses pewahyuan al Qur’an kepada Muhammad
terjadi secara bertahap[13].
Berdasarkan
pemaparan diatas, konsep inzal dan tanzil dalam proses pewahyuan
menurut Syahrur diawali dengan proses inzal dan al ja’al yang
terjadi secara sekaligus dan bersamaan. kemudian proses tanzil al Qur’an
terjadi secara bertahap dengan rentang waktu yang panjang. Memang tidak banyak
perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan ulama-ulama terdahulu. Namun, rumusan
yang dihasilkan oleh Syahrur dinilai berbeda berdasarkan perbedaan faktor
situasi dan kondisi yang mereka alami serta metode yang digunakan Syahrur dalam
menganalisis kedua term tersebut.
[1]
Syamsul Wathani, Skripsi: Rekontruksi Makna Inzal dan Tanzil Dalam Pewahyuan
al Qur’an, hlm. 120
[2]
Ibid, hlm. 121
[3]
(68) Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia",
(69)Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. Microsoft Word Translation
[4]
(12) Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.
(4) Pada hari itu bumi
menceritakan beritanya,(5) Karena Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan
(yang sedemikian itu) kepadanya.
[5]
(69) Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang
kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan:
"Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (77) Dan tatkala
datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah dan
merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan Dia berkata: "Ini
adalah hari yang Amat sulit".
[6]
Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm 75
[7]
Ibid, hlm. 76-77
[8]
Al Isfahani, Mufaradat li Al Fadh al Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, tt), hlm.
509-510
[9]
Syamsul Wathani, Skripsi: Rekontruksi Makna Inzal dan Tanzil Dalam Pewahyuan
al Qur’an, hlm. 110
[10]
Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), hlm. 86
[11]
Ibid. Hlm. 88
[12]
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta:
KALIMEDIA, 2015), hlm. 200-201
[13]
Achmad Syarqawi Ismali, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 89