Minggu, 29 Oktober 2017

Qiraat



1.      Pengertian Istinbath Hukum
Secara etimologis, hukum berasal dari kata ح-ك-م  yang berarti menolak. Dari sini terbentuk kata الحَكَمُ yang berarti menolak kedzaliman atau penganiayaan. Bisa juga diartikan dengan menetapkan sesuatu.
Secara terminologis, ulama ushul fuquh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallah, baik berupa tuntutan, pilihan maupun larangan. Sedangkan ulama fiqih mengartikan hukum dengan efek (hasil pemahaman) yang dimaksud oleh titah Allah yang menyangkut perbuatan manusia, seperti wajib, haram, dan boleh[1].
Adapun kata Istinbath berasal dari kata النبط yang artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seorang menggali sumur. Kata Istinbath menurut bahasa berati mengeluarkan air dari mata air. Secara umum, Istinbath dipergunakan dalam kata Istikhraj yaitu mengeluarkan. Secara istilah istinbath adalah mengeluarkan hukum dari nash-nash yang ada (Al Qur’an dan Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal[2].
2.      Macam-macam Qiraat
Macam-macam qiraat merupakan ragam qiraat yang mana ditinjau dari dapat atau tidak diterimanya qiraat sebagai qiraat Al Qur’an. Adapun macam-macam qiraat dari segi diterima atau ditolaknya sebagai qiraat Al Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Qiraat Sab’ah
Qiraat sab’ah adalah tujuh ragam qira’at yang mana dinisbatkan kepada para Imam Qiraat yang berjumlah tujuh orang. Adapun tujuh orang tersebut antara lain: Ibnu ‘Amir, Ibnu Kasir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’ dan al Kisa’i[3].
b.      Qiraat Syadzah
Sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama’ bahwa qiraat syadzah adalah qiraat yang sanadnya shohih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, tetapi menyalahi rasm al Mushaf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa qiraat syadzat dapat diterima secara eksistensinya, namun para ulama sepakat tidak mengakui qur’aniyyat ( ke- Al Qur’an) nya. Lebih khususnya qiraat syadzat dimaksudkan sebagai tafsir atau penjelasan terhadap qiraat yang terkenal diakui ke-qur’annya[4].
      Adapun faktor yang menyebabkan adanya qiroat syazah dikarenakan diantara para sahabat Nabi SAW. ada yang memiliki mushaf-mushaf pribadi yang ditulis sendiri oleh mereka, yang mana digunakan khusus untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Adapun yang mereka tulis didalamnya tidak terbatas pada qiraat yang mutawatir, bahkan terdapat ayat-ayat yang telah dinasakh atau mansukh bacaannya.
      Dengan demikian, didalam mushaf mereka terdapat apa yang tidak tergolong kepada Al Quran termasuk qiraat yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelasan Al Qur’an terhadap ayat-ayat tertentu, dan adanya perbedaan rasm dengan rasm mushaf Usmani, seperti adanya penambahan, pengurangan, ta’dim, ta’khir dan lainnya.
3.      Sebab-sebab Perbedaan Qiraat
Berdasarkan pengamatan para Ulama seperti Ibnu Qutaybat, al Fakhr ar Razi dan Ibnu al Jaziri terhadap berbagai Qiraat al Qur’an yang ada berkesimpulan, bahwa perbedaan qiraat dapta dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Berbeda harakat atau syakl, tanpa adanya perbedaan dalam maksud ataupun bentuk tulisan, seperti contoh :
ß,ÅÒtƒur Íô|¹ Ÿwur ß,Î=sÜZtƒ ÎT$|¡Ï9 ö@Åör'sù 4n<Î) tbr㍻yd ÇÊÌÈ  
 13. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
Kata ُ ) ,ÅÒtƒur ( dalam ayat tersebut bisa juga dibaca  َ ),ÅÒtƒur ( tanpa merubah makna ataupun bentuk tulisan.
b.      Berbeda harokat atau syakl, berubah makna, akan tetapi bentuk tulisannya tidak berubah, seperti contoh :
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut bisa pula di baca  :
فَتَلَقَّى أَدَمَ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَاتٌ
Sehingga, maknanya menjadi : “Kemudian Adam diberikan beberapa kalimat oleh Tuhannya”
c.       Berbeda huruf, berbeda makna, akan tetapi bentuk tulisan (rasm-nya)sama
÷ÝàR$#ur n<Î) ÏQ$sàÏèø9$# y#øŸ2 $ydãų^çR §NèO $ydqÝ¡õ3tR $VJóss9 ... ÇËÎÒÈ
259. “Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”
Kata dalam ayat diatas, bisa pula dibaca sehingga makna ayat tersebut menjadi : “ Dan lihatlah tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menghidupkannya kemudian kami menutupnya dengan daging”
d.      Berbeda huruf, berbeda tulisan, akan tetapi tidak berubah makna
ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ  
5. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Kata `ôgÏèø9 dalam ayat diatas, bisa dibaca الصوف, sehingga bunyi ayat tersebut menjadi وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصَوْفِ الْمَنْفُوْشِ akan tetapi maknanya tidak berubah.

e.       Berbeda huruf,berbeda bentuk tulisan, dan berbeda makna
Îû 9ôÅ 7ŠqàÒøƒ¤C ÇËÑÈ   8xù=sÛur 7ŠqàÒZ¨B ÇËÒÈ  
28. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, 29. Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),
Kata طلح   dalam ayat diatas, bisa dibaca طلع sehingga maknanya menjadi berbeda; طلح artinya “Pohon pisang”, sedangkan kata طلع artinya “pemandangan”.
f.       Perbedaan qiroat dalam bentuk takdim dan ta’khir
z$ygs%ºsŒr'sù ª!$# }¨$t6Ï9 Æíqàfø9$# Å$öqyø9$#ur $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 šcqãèuZóÁtƒ ÇÊÊËÈ  
Ayat diatas bisa dibaca dengan mendahulukan lafadz  $öqyø9$# dan mengemudiankan lafadz íqàfø9$#, sehingga bunyi ayat tersebut menjadi :
z$ygs%ºsŒr'sù ª!$# }¨$t6Ï9 ÆÅ$öqyø9$# $yJÎ/ íqàfø9$#r  (#qçR$Ÿ2 šcqãèuZóÁtƒ ÇÊÊËÈ  

g.      Perbedaan qiraat dalam bentuk penambahan dan pengurangan
£tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB 㠍»yg÷RF{$# ÇÊÉÉÈ ....  
Kata dalam ayat diatas bisa dibaca dengan menambahkan kata. Sehingga ayat tersebut menjadi :
وَأَعَدَّلَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتَهَا الاَنْهَارُ......

4.      Pengaruh Qiraat terhadap Istinbath Hukum
Qira’at yang berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum disini dibagi menjadi dua: Yaitu Qira’at Sab’ah dan Qiraat Syadzzah yang diuraikan dibawah sebagai berikut :
a.      Pengaruh Adanya Qira’at Sab’ah terhadap Istinbath Hukum
Pembahasan disini diuraikan lagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Perbedaan Qiraat yang berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan qiraat yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap istinbath hukum, sebagai berikut :
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
43. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Ayat diatas menjelaskan, bahwa salah satu penyebab yang mengahruskan seseorang bertayammun dan dalam kondisi tidak ada air, yaitu apabila ia enyentuh wanita.
Sementara itu, Ibnu Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu Amr, dan Ibnu Amir, membaca : ãLäêó¡yJ»s9. Sedangkan Hamzah dan al kisa’i membaca ãLäêó¡yJs9. sehubungan dengan qiraat ãLäêó¡yJs9 ada tiga versi pendapat para ulama mengenai makna ãLäêó¡yJs9 yaitu : bersetubuh (), bersentuh, dan bersentuh dan bersetubuh. Demikian pula ãLäêó¡yJ»s9 menurut kebanyakan para ulama. Akan tetapi, sebagian ulama, antara lain Muhammad ibnu Yazid berpendapatbahwa yang lebih tepat, makna ãLäêó¡yJ»s9 adalah berciuman dan sebangsanya. Karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersift aktif, sementara ãLäêó¡yJs9 adalah menyentuh, karena pihak wanita yang disentuh, oleh karena itu dalam hal ini tidak aktif.
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat, tentang apa yang dimaksud dengan kata ãLäêó¡yJ»s9 dalam ayat tersebut. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, al Nakha’i dan Imam Syaf’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuhan kuliat baik dalam bentukpersetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al Razi berkomentar, bahwa pendapat yang disebut terakhir adalah yang lebih kuat, karena al lums dalam qira’at, makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Yang pada dasarnya, suatu lafadz harusdiartikan sesuai dengan makna hakiki. Sementara al mulamasat dalam qiraat, makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
Adapun beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafadz ãLäêó¡yJ»s9 diartikan dengan ‘bersentuh kuit’ , mereka menjelaskan rinciannya sebagai berikut :
a.       Imam Syafi’i : batal wudlu seorang laki-laki, apabila ia menyentuh anggota tubuh wanita, baik dengan tangannya maupun anggota tuubuh lainnya (juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Zuhri, dan rabi’ah)
b.      Al Awza’i : apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal wudlunya. Namun sebaliknya apabila tidak dengan tangan maka tidak batal wudlu.
c.       Imam Malik : apabila menyentuh disertai dengan syahwat, maka batal wudlunya. Apabila sebaliknya maka tidak batal wudlunya.
Dari uraian diatas tampaklah, bahwa perbedaan qiraar dalama ayat diatas hanya berpengaruh pada cara istinbath hukum. Dalam versi qiraat, para ulama lebih mempertegas pada pendapat yang kedua, bahwa ayat tersebut dimaknai secara hakiki yang berati ‘bersentuh kulit’ antara laki-laki dan wanita. Perbedaan qiraa diatas tidak sampai berpengaruh terhadap ketentuan hukum yang di istinbathkan, karena pada dasarnya pendapaat qiraat pertama dan qiraat kedua sama-sama bisa melahirkan perbedaan pendapat, yaitu ada yang memahaminya dengan makna bersetubuh dan bersentuhan kulit[5].
2)      Perbedaan Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Dalam Q.S. Al Maidah ayat 95 disebutkan
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? yøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB Ÿ@tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/ #ursŒ 5Aôtã öNä3YÏiB $Nƒôyd x÷Î=»t/ Ïpt7÷ès3ø9$# ÷rr& ×ot»¤ÿx. ßQ$yèsÛ tûüÅ3»|¡tB ÷rr& ãAôtã y7Ï9ºsŒ $YB$uϹ s-räuÏj9 tA$t/ur ¾Ín͐öDr& 3 $xÿtã ª!$# $£Jtã y#n=y 4 ô`tBur yŠ$tã ãNÉ)tFZuŠsù ª!$# çm÷ZÏB 3 ª!$#ur ÖƒÍtã rèŒ BQ$s)ÏGR$# ÇÒÎÈ  
95. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan[436], ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad[437] yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu[440], supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Ayat diatas menjelaskan, bahwa apabila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan dengan sengaja, maka salah satu alternatif dendanya yaitu, memberi makan orang-orang miskin seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya.
Sehubungan dengan ayat ini, Ibnu Kasir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al Kisai membaca ûüÅ3»|¡tB ßQ$yèsÛ ×ot»¤ÿx. ÷rr& sementara Nafi’ dan Ibnu Amir membaca ûüÅ3»|¡tB ِQ$yèsÛ ×ot»¤ÿx. ÷rr&, dengan mengidofatkan lafadz ot»¤ÿx.  kepada ladaz , tanpa terjadi perubahan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung didalamnya[6].

b.      Pengaruh Adanya Qiraat Syadzzah terhadap Istinbath Hukum
1)      Perbedaan Qiraat yang berpengaruh terhadap istinbath Hukum
Qiraat syadzat yang berpengaruh terhadap istinbath hukum, diantaranya ada dalam Q.S.Al Baqarah ayat 233 :
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat tersebut diatas, ulama asy-Syafi’yah dan malikiyyah berpendapat, bahwa kewajiban memberi nafkah tidak dibebankan kecuali terhadap orang tua dan anak. Sementara kewajiban bagi kerabat lainnya sebagaimana diyatakan dalam ayat tersebut, yaitu dipahami oleh mereka, bahwa keberlakuannya hanya dalam hal, kewajiban bagi sementara ahli waris untuk tidak membuat menderita orang tua tersebut.
Sementara ulama Hanabilah berpendapat, bahwa kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada semua kerabat yang tergolong ahli waris, mulai dari yang terdekat. Sehubungan dengan ayat ini, dalam qiraat syadzat yang menjadikan qiraat Ibnu Mas’ud sebagai dasar oleh ulama Hanabillah yang berpendapat bahwa kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada semua kerabat, baik tergolong ahli waris maupun zawi al arham[7]. Mereka wajib memberi nafkah kepada setiap kerabat yang dalam keadaan miskin, lanjut usia, ataupun yang tidak mencari nafkah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa perbedaan qiraat berpengaruh terhadap istibath hukum, baik dalam hal cara istinbath maupun ketentuan hukum yang di istinbathkan.

2)      Perbedaan Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath Hukum
Qiraat syadzat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum, diantaranya ada dalam Q.S. Al jumu’ah ayat 9 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ayat diatas menjelaskan bahwa apabila khatib telah naik mimbar dan muadzin telah mengumandangkan adzan pada hari jum’at, maka kaum muslimin wajib memenuhi panggilan azan tersebut serta meninggalkan segala aktivitas atau kegiatan lainnya.
Sehubungan dengan ayat tersebut, dalam qiraat syadzat yaitu ‘Umar, Ibn ‘Abbas dan Ibnu mas’ud disebutkan :
«!$# ύø.ÏŒ 4n<Î) مضوا$$sù  ÏpyèßJàfø9$# Qöqtƒ `ÏB  Ío4qn=¢Á=Ï9 šÏŠqçR#sŒÎ)
Qiraat tersebut tidak menimbulkan pengaruh terhadap istinbath hukum, karena pada dasarnya esensi hukum yang terkandung dalam dua qiraat tersebut yaitu dan adalah sama, yaitu pergi memenuhi perintah Allah untuk melaksanakan sholat jum’at[8].
Sehubungan dengan ini, sebagian ulama mnyatakan bahwa kedua versi qiraat memiliki pengertian yang sama.




[1] Umar Syihab, Al Qur’an dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 31
[2] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, (jakarta : Gravindo Persada, 1995), hlm. 189
[3] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, hlm. 146
[4] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, hlm. 152
[5] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, hlm. 209

[6] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, hlm. 216 -217
[7] Yang dimaksud Dzawi al Arham yaitu kerabat yang tidak tergolong ahli waris, baik ahli waris yang berhak menerima bagian tertentu, maupun yang berhak mendapat ashabat atau sisa harta.
[8] Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum, hlm. 240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar