1.
Pengertian Istinbath Hukum
Secara etimologis, hukum berasal
dari kata ح-ك-م yang berarti menolak. Dari sini terbentuk kata
الحَكَمُ yang berarti menolak kedzaliman atau
penganiayaan. Bisa juga diartikan dengan menetapkan sesuatu.
Secara terminologis, ulama ushul
fuquh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan
orang-orang mukallah, baik berupa tuntutan, pilihan maupun larangan. Sedangkan
ulama fiqih mengartikan hukum dengan efek (hasil pemahaman) yang dimaksud oleh
titah Allah yang menyangkut perbuatan manusia, seperti wajib, haram, dan boleh[1].
Adapun kata Istinbath berasal
dari kata النبط yang artinya air yang
pertama kali keluar atau tampak pada saat seorang menggali sumur. Kata
Istinbath menurut bahasa berati mengeluarkan air dari mata air. Secara umum,
Istinbath dipergunakan dalam kata Istikhraj yaitu mengeluarkan. Secara
istilah istinbath adalah mengeluarkan hukum dari nash-nash yang ada (Al Qur’an
dan Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal[2].
2.
Macam-macam Qiraat
Macam-macam qiraat merupakan ragam
qiraat yang mana ditinjau dari dapat atau tidak diterimanya qiraat sebagai
qiraat Al Qur’an. Adapun macam-macam qiraat dari segi diterima atau ditolaknya
sebagai qiraat Al Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Qiraat
Sab’ah
Qiraat sab’ah adalah tujuh ragam qira’at yang mana dinisbatkan
kepada para Imam Qiraat yang berjumlah tujuh orang. Adapun tujuh orang tersebut
antara lain: Ibnu ‘Amir, Ibnu Kasir, Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’ dan al
Kisa’i[3].
b.
Qiraat
Syadzah
Sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama’ bahwa qiraat syadzah
adalah qiraat yang sanadnya shohih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, tetapi
menyalahi rasm al Mushaf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
qiraat syadzat dapat diterima secara eksistensinya, namun para ulama sepakat
tidak mengakui qur’aniyyat ( ke- Al Qur’an) nya. Lebih khususnya qiraat syadzat
dimaksudkan sebagai tafsir atau penjelasan terhadap qiraat yang terkenal diakui
ke-qur’annya[4].
Adapun faktor yang menyebabkan adanya
qiroat syazah dikarenakan diantara para sahabat Nabi SAW. ada yang memiliki
mushaf-mushaf pribadi yang ditulis sendiri oleh mereka, yang mana digunakan
khusus untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Adapun yang mereka tulis
didalamnya tidak terbatas pada qiraat yang mutawatir, bahkan terdapat ayat-ayat
yang telah dinasakh atau mansukh bacaannya.
Dengan demikian, didalam mushaf mereka
terdapat apa yang tidak tergolong kepada Al Quran termasuk qiraat yang
berfungsi sebagai tafsir atau penjelasan Al Qur’an terhadap ayat-ayat tertentu,
dan adanya perbedaan rasm dengan rasm mushaf Usmani, seperti
adanya penambahan, pengurangan, ta’dim, ta’khir dan lainnya.
3.
Sebab-sebab Perbedaan Qiraat
Berdasarkan pengamatan para Ulama seperti Ibnu Qutaybat, al Fakhr
ar Razi dan Ibnu al Jaziri terhadap berbagai Qiraat al Qur’an yang ada
berkesimpulan, bahwa perbedaan qiraat dapta dikelompokkan sebagai berikut :
a.
Berbeda
harakat atau syakl, tanpa adanya perbedaan dalam maksud ataupun
bentuk tulisan, seperti contoh :
ß,ÅÒtur
Íô|¹
wur
ß,Î=sÜZt
ÎT$|¡Ï9
ö@Åör'sù
4n<Î)
tbrã»yd
ÇÊÌÈ
13. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak
lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
Kata ُ ) ,ÅÒtur ( dalam ayat tersebut bisa juga dibaca َ ),ÅÒtur ( tanpa
merubah makna ataupun bentuk tulisan.
b.
Berbeda
harokat atau syakl, berubah makna, akan tetapi bentuk tulisannya
tidak berubah, seperti contoh :
#¤)n=tGsù
ãPy#uä
`ÏB
¾ÏmÎn/§
;M»yJÎ=x.
z>$tGsù
Ïmøn=tã
4 ¼çm¯RÎ)
uqèd
Ü>#§qG9$#
ãLìÏm§9$#
ÇÌÐÈ
37.
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat
tersebut bisa pula di baca :
فَتَلَقَّى أَدَمَ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَاتٌ
Sehingga,
maknanya menjadi : “Kemudian Adam diberikan beberapa kalimat oleh Tuhannya”
c.
Berbeda
huruf, berbeda makna, akan tetapi bentuk tulisan (rasm-nya)sama
÷ÝàR$#ur n<Î) ÏQ$sàÏèø9$# y#ø2 $ydãų^çR §NèO $ydqÝ¡õ3tR $VJóss9 ... ÇËÎÒÈ
259.
“Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”
Kata
dalam ayat diatas, bisa pula dibaca sehingga makna ayat tersebut menjadi : “
Dan lihatlah tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menghidupkannya kemudian
kami menutupnya dengan daging”
d.
Berbeda
huruf, berbeda tulisan, akan tetapi tidak berubah makna
ãbqä3s?ur
ãA$t6Éfø9$#
Ç`ôgÏèø9$$2
Â\qàÿZyJø9$#
ÇÎÈ
5.
Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Kata
`ôgÏèø9 dalam
ayat diatas, bisa dibaca الصوف,
sehingga bunyi ayat tersebut menjadi وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصَوْفِ الْمَنْفُوْشِ akan tetapi
maknanya tidak berubah.
e.
Berbeda
huruf,berbeda bentuk tulisan, dan berbeda makna
Îû 9ôÅ 7qàÒø¤C ÇËÑÈ 8xù=sÛur 7qàÒZ¨B ÇËÒÈ
28.
Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, 29. Dan pohon pisang yang
bersusun-susun (buahnya),
Kata
طلح dalam ayat diatas, bisa dibaca طلع sehingga maknanya menjadi berbeda; طلح artinya “Pohon pisang”, sedangkan kata طلع artinya “pemandangan”.
f.
Perbedaan
qiroat dalam bentuk takdim dan ta’khir
z$ygs%ºsr'sù
ª!$#
}¨$t6Ï9
Æíqàfø9$#
Å$öqyø9$#ur
$yJÎ/
(#qçR$2
cqãèuZóÁt
ÇÊÊËÈ
Ayat
diatas bisa dibaca dengan mendahulukan lafadz $öqyø9$# dan
mengemudiankan lafadz íqàfø9$#, sehingga bunyi ayat tersebut menjadi :
z$ygs%ºsr'sù ª!$# }¨$t6Ï9 ÆÅ$öqyø9$# $yJÎ/ íqàfø9$#r (#qçR$2 cqãèuZóÁt ÇÊÊËÈ
g.
Perbedaan
qiraat dalam bentuk penambahan dan pengurangan
£tãr&ur
öNçlm;
;MȬZy_
Ìôfs?
$ygtFøtrB
ã »yg÷RF{$#
ÇÊÉÉÈ ....
Kata
dalam ayat diatas bisa dibaca dengan menambahkan kata. Sehingga ayat tersebut
menjadi :
وَأَعَدَّلَهُمْ جَنَّتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتَهَا الاَنْهَارُ......
4.
Pengaruh Qiraat terhadap Istinbath Hukum
Qira’at yang berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap istinbath
hukum disini dibagi menjadi dua: Yaitu Qira’at Sab’ah dan Qiraat Syadzzah yang
diuraikan dibawah sebagai berikut :
a.
Pengaruh Adanya Qira’at Sab’ah terhadap Istinbath Hukum
Pembahasan
disini diuraikan lagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)
Perbedaan
Qiraat yang berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan
qiraat yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap
istinbath hukum, sebagai berikut :
bÎ)ur
LäêYä.
#ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã
@xÿy
÷rr&
uä!$y_
Ótnr&
Nä3YÏiB
z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr&
ãLäêó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù
(#rßÅgrB
[ä!$tB
(#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹
$Y7ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNä3Ïdqã_âqÎ/
öNä3Ï÷r&ur
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
#qàÿtã
#·qàÿxî
ÇÍÌÈ
43.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Ayat diatas menjelaskan, bahwa salah satu penyebab yang
mengahruskan seseorang bertayammun dan dalam kondisi tidak ada air, yaitu
apabila ia enyentuh wanita.
Sementara
itu, Ibnu Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu Amr, dan Ibnu Amir, membaca : ãLäêó¡yJ»s9. Sedangkan
Hamzah dan al kisa’i membaca ãLäêó¡yJs9. sehubungan
dengan qiraat ãLäêó¡yJs9 ada
tiga versi pendapat para ulama mengenai makna ãLäêó¡yJs9 yaitu
: bersetubuh (), bersentuh, dan bersentuh dan bersetubuh. Demikian pula ãLäêó¡yJ»s9 menurut
kebanyakan para ulama. Akan tetapi, sebagian ulama, antara lain Muhammad ibnu
Yazid berpendapatbahwa yang lebih tepat, makna ãLäêó¡yJ»s9 adalah
berciuman dan sebangsanya. Karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersift
aktif, sementara ãLäêó¡yJs9
adalah menyentuh, karena pihak wanita yang disentuh, oleh karena
itu dalam hal ini tidak aktif.
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat, tentang apa
yang dimaksud dengan kata ãLäêó¡yJ»s9 dalam ayat tersebut. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan Abu
Hanifah berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibnu
Mas’ud, Ibnu Umar, al Nakha’i dan Imam Syaf’i berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah bersentuhan kuliat baik dalam bentukpersetubuhan maupun dalam bentuk
lainnya. Al Razi berkomentar, bahwa pendapat yang disebut terakhir adalah yang
lebih kuat, karena al lums dalam qira’at, makna hakikinya adalah
menyentuh dengan tangan. Yang pada dasarnya, suatu lafadz harusdiartikan sesuai
dengan makna hakiki. Sementara al mulamasat dalam qiraat, makna
hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
Adapun beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafadz ãLäêó¡yJ»s9 diartikan
dengan ‘bersentuh kuit’ , mereka menjelaskan rinciannya sebagai berikut :
a.
Imam
Syafi’i : batal wudlu seorang laki-laki, apabila ia menyentuh anggota tubuh
wanita, baik dengan tangannya maupun anggota tuubuh lainnya (juga merupakan
pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Zuhri, dan rabi’ah)
b.
Al
Awza’i : apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal wudlunya. Namun
sebaliknya apabila tidak dengan tangan maka tidak batal wudlu.
c.
Imam
Malik : apabila menyentuh disertai dengan syahwat, maka batal wudlunya. Apabila
sebaliknya maka tidak batal wudlunya.
Dari
uraian diatas tampaklah, bahwa perbedaan qiraar dalama ayat diatas hanya
berpengaruh pada cara istinbath hukum. Dalam versi qiraat, para ulama
lebih mempertegas pada pendapat yang kedua, bahwa ayat tersebut dimaknai secara
hakiki yang berati ‘bersentuh kulit’ antara laki-laki dan wanita. Perbedaan
qiraa diatas tidak sampai berpengaruh terhadap ketentuan hukum yang di
istinbathkan, karena pada dasarnya pendapaat qiraat pertama dan qiraat kedua
sama-sama bisa melahirkan perbedaan pendapat, yaitu ada yang memahaminya dengan
makna bersetubuh dan bersentuhan kulit[5].
2)
Perbedaan
Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Dalam
Q.S. Al Maidah ayat 95 disebutkan
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#qè=çGø)s?
yø¢Á9$#
öNçFRr&ur
×Pããm
4 `tBur
¼ã&s#tFs%
Nä3ZÏB
#YÏdJyètGB
Öä!#tyfsù
ã@÷WÏiB
$tB
@tFs%
z`ÏB
ÉOyè¨Z9$#
ãNä3øts
¾ÏmÎ/
#urs
5Aôtã
öNä3YÏiB
$Nôyd
x÷Î=»t/
Ïpt7÷ès3ø9$#
÷rr&
×ot»¤ÿx.
ßQ$yèsÛ
tûüÅ3»|¡tB
÷rr&
ãAôtã
y7Ï9ºs
$YB$uϹ
s-räuÏj9
tA$t/ur
¾ÍnÍöDr&
3 $xÿtã
ª!$#
$£Jtã
y#n=y
4 ô`tBur
y$tã
ãNÉ)tFZusù
ª!$#
çm÷ZÏB
3 ª!$#ur
ÖÍtã
rè
BQ$s)ÏGR$#
ÇÒÎÈ
95.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan[436],
ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu
sebagai had-yad[437] yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar
kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan
makanan yang dikeluarkan itu[440], supaya Dia merasakan akibat buruk dari
perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang
kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa.
Ayat
diatas menjelaskan, bahwa apabila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang
buruan dengan sengaja, maka salah satu alternatif dendanya yaitu, memberi makan
orang-orang miskin seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan
untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya.
Sehubungan
dengan ayat ini, Ibnu Kasir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al Kisai membaca ûüÅ3»|¡tB ßQ$yèsÛ ×ot»¤ÿx. ÷rr&
sementara Nafi’ dan Ibnu Amir membaca ûüÅ3»|¡tB ِQ$yèsÛ ×ot»¤ÿx. ÷rr&,
dengan mengidofatkan lafadz ot»¤ÿx. kepada ladaz , tanpa terjadi perubahan maksud
atau ketentuan hukum yang terkandung didalamnya[6].
b.
Pengaruh
Adanya Qiraat Syadzzah terhadap Istinbath Hukum
1)
Perbedaan
Qiraat yang berpengaruh terhadap istinbath Hukum
Qiraat syadzat yang berpengaruh terhadap istinbath hukum,
diantaranya ada dalam Q.S.Al Baqarah ayat 233 :
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur
z`÷èÅÊöã
£`èdy»s9÷rr&
Èû÷,s!öqym
Èû÷ün=ÏB%x.
( ô`yJÏ9
y#ur&
br&
¨LÉêã
sptã$|ʧ9$#
4 n?tãur
Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s!
£`ßgè%øÍ
£`åkèEuqó¡Ï.ur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
4 w
ß#¯=s3è?
ë§øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4 w
§!$Òè?
8ot$Î!ºur
$ydÏ$s!uqÎ/
wur
×qä9öqtB
¼çm©9
¾ÍnÏ$s!uqÎ/
4 n?tãur
Ï^Í#uqø9$#
ã@÷VÏB
y7Ï9ºs
3 ÷bÎ*sù
#y#ur&
»w$|ÁÏù
`tã
<Ú#ts?
$uKåk÷]ÏiB
9ãr$t±s?ur
xsù
yy$oYã_
$yJÍkön=tã
3 ÷bÎ)ur
öN?ur&
br&
(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@
ö/ä.y»s9÷rr&
xsù
yy$uZã_
ö/ä3øn=tæ
#sÎ)
NçFôJ¯=y
!$¨B
Läêøs?#uä
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
3 (#qà)¨?$#ur
©!$#
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
$oÿÏ3
tbqè=uK÷ès?
×ÅÁt/
ÇËÌÌÈ
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat tersebut diatas, ulama asy-Syafi’yah dan
malikiyyah berpendapat, bahwa kewajiban memberi nafkah tidak dibebankan kecuali
terhadap orang tua dan anak. Sementara kewajiban bagi kerabat lainnya
sebagaimana diyatakan dalam ayat tersebut, yaitu dipahami oleh mereka, bahwa
keberlakuannya hanya dalam hal, kewajiban bagi sementara ahli waris untuk tidak
membuat menderita orang tua tersebut.
Sementara ulama Hanabilah berpendapat, bahwa kewajiban memberi
nafkah dibebankan kepada semua kerabat yang tergolong ahli waris, mulai dari
yang terdekat. Sehubungan dengan ayat ini, dalam qiraat syadzat yang menjadikan
qiraat Ibnu Mas’ud sebagai dasar oleh ulama Hanabillah yang berpendapat bahwa
kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada semua kerabat, baik tergolong
ahli waris maupun zawi al arham[7].
Mereka wajib memberi nafkah kepada setiap kerabat yang dalam keadaan
miskin, lanjut usia, ataupun yang tidak mencari nafkah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa perbedaan qiraat berpengaruh terhadap istibath hukum, baik
dalam hal cara istinbath maupun ketentuan hukum yang di istinbathkan.
2)
Perbedaan
Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath Hukum
Qiraat syadzat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum,
diantaranya ada dalam Q.S. Al jumu’ah ayat 9 :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
ÏqçR
Ío4qn=¢Á=Ï9
`ÏB
ÏQöqt
ÏpyèßJàfø9$#
(#öqyèó$$sù
4n<Î)
Ìø.Ï
«!$#
(#râsur
yìøt7ø9$#
4 öNä3Ï9ºs
×öyz
öNä3©9
bÎ)
óOçGYä.
tbqßJn=÷ès?
ÇÒÈ
9.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ayat diatas menjelaskan bahwa apabila khatib telah naik mimbar dan
muadzin telah mengumandangkan adzan pada hari jum’at, maka kaum muslimin wajib
memenuhi panggilan azan tersebut serta meninggalkan segala aktivitas atau
kegiatan lainnya.
Sehubungan
dengan ayat tersebut, dalam qiraat syadzat yaitu ‘Umar, Ibn ‘Abbas dan Ibnu
mas’ud disebutkan :
«!$# Ïø.Ï 4n<Î) مضوا$$sù ÏpyèßJàfø9$# Qöqt
`ÏB Ío4qn=¢Á=Ï9 ÏqçR#sÎ)
Qiraat
tersebut tidak menimbulkan pengaruh terhadap istinbath hukum, karena pada
dasarnya esensi hukum yang terkandung dalam dua qiraat tersebut yaitu dan
adalah sama, yaitu pergi memenuhi perintah Allah untuk melaksanakan sholat
jum’at[8].
Sehubungan
dengan ini, sebagian ulama mnyatakan bahwa kedua versi qiraat memiliki
pengertian yang sama.
[1] Umar
Syihab, Al Qur’an dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama, 1993),
hlm. 31
[2]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, (jakarta : Gravindo Persada, 1995), hlm. 189
[3]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, hlm. 146
[4]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, hlm. 152
[5]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, hlm. 209
[6]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, hlm. 216 -217
[7] Yang
dimaksud Dzawi al Arham yaitu kerabat yang tidak tergolong ahli waris,
baik ahli waris yang berhak menerima bagian tertentu, maupun yang berhak
mendapat ashabat atau sisa harta.
[8]
Hasanuddin, Anatomi Al Qur’an : Perbedaan qiraat dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum, hlm. 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar